its my blog :)

Saya menemukan 'diri'saya ketika saya menulis.
Menulis adalah sebuah kekuatan :)

Rabu, 12 Februari 2014

Cerita Sebuah Cita-Cita

Dalam hidup ini, kita semua pasti punya cita-cita bukan? Saya yakin, ketika ditanya apakah seseorang punya cita-cita, pasti semuanya akan menjawab 'punya'. Mulai dari ingin menjadi guru hingga jadi seorang presiden. Dan kita tentu punya cerita masing-masing tentang cita-cita. Dan ini cerita saya.. Sejak kecil, ketika saya ditanya tentang cita-cita, saya selalu punya jawaban yang berbeda. Dulu waktu masih duduk dibangku Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), saya selalu menjawab "astronot" ketika ditanya apa cita-cita saya. Padahal, saat itu saya sendiri tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan astronot itu. Hanya karena sering dengar dan bahasanya pun keren, saya memilih astronot sebagai pilihan. Dan cita-cita itu masih bertahan hingga saya lulus MI. Lalu ketika tahu bahwa astronot itu adalah ilmuwan yang bisa datang ke bulan, dan pekerjaannya hanya meneliti itu-itu saja, pikiran bocah saya waktu itu ternyata enggan. Itu terlalu membosankan buat saya. Saya tidak suka hal seperti itu. Pikir saya, di bulan itu pasti sepi dan saya pasti akan takut. Ah :") Masuk SMP, saya mulai menyadari hobby saya yang amat gemar membaca, terutama novel. Belum lagi saya juga menyukai akitvitas tulis menulis puisi dan cerpen. Dan ketika saya kembali menemui pertanyaan "apa cita-cita kamu?", jawaban saya pun berubah. "Saya ingin jadi novelis". Hmm, dalam bayangan saya waktu itu menjadi seorang novelis tentu menyenangkan. Bisa bereksperimen dengan berbagai kata, merangkumnya menjadi sebuah cerita dan mampu mengekspresikan imajinasi dalam sebuah alur yang indah. Bisa bertemakan cinta, derita, bahkan apa saja yang saya mau. Saya bisa memilih alur cerita apa yang saya mau, bagaimana jalan ceritanya. Dan itu menyenangkan! Cita-cita itu ternyata menjadi sebuah kekuatan tersendiri buat saya. Saya sering berjam-jam di depan laptop. Bermain dengan kata-kata dan merangkainya menjadi sebuah cerita. Hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan sebuah novel berjudul "Semesta Cinta" yang akhir-akhir ini saya baca dan membuat saya terbahak karena penggunaan kata yang masih ngasal hingga ada kesoktahuan yang berlebihan dalam novel yang saya tulis tersebut :'D Lalu ketika mendekati akhir SMP kalo tidak salah, setelah pertanyaan "cinta-cita kamu apa?" sudah amat sangat jarang terdengar, seorang guru bertanya pada kami. "apa cita-cita kalian" Dan dengan sangat bangga saya menjawab "ingin jadi novelis" Dan jawaban guru tersebut membuat pikiran bocah saya kembali melanglang buana. Inilah jawabannya. "Novelis itu tidak bisa dijadikan tumpuan hidup. Kalo kamu nulis terus bukumu laris ya Alhamdulillah. Tapi kamu butuh waktu lama untuk kembali nulis lagi. Dan selama itu kamu ga akan dapet uang. Novelis itu jadikan sampingan sajalah" Jleb, ucapan itu berhasil membuat saya refleks mengangguk dan membenarkan. Dan saya mulai berpikir "Jadi, saya harus jadi apa?" Hingga masuk masa SMA saya masih mengambang, entah ingin jadi apa. Hingga suatu peristiwa membuat saya terilhami dan banting stir. "Saya ingin jadi dokter". Sebuah profesi yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Ketika teman-teman saya ramai menyebut "dokter" sebagai cita-cita saya malah tak berpikir sama sekali kesana. Iya, saya pikir saya tak akan mampu menjadi dokter. Saya takut darah dan tak akan bisa menjadi dokter. Tapi peristiwa itu membuat saya bertekad apapun caranya SAYA HARUS JADI DOKTER! Mulailah saya membenahi semuanya. Saya memperketat jadwal belajar saya. Memforsir diri hanya demi sebuah jas berwarna putih. Bagaimanpun saya harus menjadi dokter. Siang malam saya habiskan untuk berkutat dengan buku-buku yang membosankan. Saya mulai berusaha bersahabat dengan Biologi, berteman akrab dengan berbagai macam jenis organ dan cara kerjanya, familiar dengan berbagai nama biologi, mencoba menikmati sajian yang tak pernah jauh dari manusia, hewan, dan tumbuhan. Saya mulai menyisihkan benci terhadap Matematika, mencoba mengkakrabkan diri dengan kimia dan berusaha berteman dengan Fisika. Alhamdulillah, proses itu berjalan dengan baik. Saya biasa menghabiskan malam dengan soal-soal, saya pernah hampir muntah karena terlalu bosan belajar, hingga seabrek rutinitas lainnya. Pada saat ikut tes SNMPTN, saya tak memasukkan pilihan lain selain kedokteran. Saya bahkan tak melirik kampus-kampus elite sekelas UI, UGM dan Padjajaran. Saya rela mempertaruhkan jarak jauh-jauh ke Bengkulu hanya untuk mendapat sebuah kursi kedokteran. Hingga kenyataan dan rencana Allah menghentak saya. Saya tak lulus satu pun. Saya malah lulus pada bidang yang tak pernah saya fikir sebelumnya. Saya kecewa, saya sempat membodohkan diri saya. Hingga Allah mempertemukan saya dengan orang-orang itu (Salam rindu teramat sangat buat kalian, saudari fillah). Saya menemukan bahwa kebahagiaan sesungguhnya itu adalah ketika dekat dengan-Nya. Saya mulai menyadari bahwa cita-cita paling mulia seorang wanita adalah menjadi wanita shalihah. Bahwa pencapaian yang paling membahagikan bagi seorang wanita adalah ketika ia mampu menjadi hamba yang dekat dengan-Nya, mampu menjadi istri shalihah dan ibu yang baik untuk anak-anaknya. Bahwa hidup tak melulu tentang dunia. Dan tugas kita hanya mempersiapkan bekal untuk datang menghadap-Nya nanti. Bahwa sukses itu tidak harus menjadi seorang dokter, seorang pengusaha, PNS, atau apalah. Sukses tidak bisa diukur dari banyaknya harta, banyaknya mobil, atau seterkenal apa kita. Sukses itu bukan ketika kita mampu berpakain modis dan bermerek dengan berbagai macam mode, tapi ketika kita sudah mampu berpakaian sesuai syariat-Nya, itulah sukses. Sukses itu justru sangat sederhana. Sukses itu adalah sebagaimana kita mampu bermanfaat untuk diri kita sendiri dan orang lain. Sebagaimana kita mampu menjadi hamba yang dekat dengan-Nya. Dan ketika kita sudah mampu lepas dari segala macam ambisi dunia, saat itulah kita sukses. Jadi, apapun jalan hidup yang sudah Allah takdirkan untuk kita, sebagaimana pun keadaannya, jalani saja. Yakinlah akan ada sesuatu yang indah dibaliknya. Tugas kita hanya berusaha keras, memberikan dan mengusahakan yang terbaik, urusan hasil tetap Allah penentu-Nya. Yakinlah, tak akan ada usaha yang sia-sia. Laa takhaf wa laa tahzan! Innallaha Ma'ana. Jangan takut, jangan sedih, Allah bersama kita. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sukses, diberkahi fiddunnyaa wal akhirah. Aamiin. Semangat menebar manfaat di bumi Allah! salah ukhuwah, Masna Devi Rosiana